Jumat, 26 Februari 2010

Bangkai Ikan, Halal?

Seringkali kita lihat ada ikan Paus/Hiu terdampar di pantai, dan biasanya hanya dikubur begitu saja. Padahal tidak mengapa mengonsumsinya. Sebab hewan-hewan laut punya hukum tersendiri dalam Islam.

Setelah hewan darat yang halal dan haram telah dibahas dalam edisi-edisi terdahulu, sebagai pelengkap, dibahas tentang hukum hewan air atau hewan laut.

Apa Itu Hewan Laut?
Bicara tentang hewan laut dalam pandangan syariat islam tidak lepas dari pengertian laut dalam bahasa Arab dan Istilah syariat. Kata “Al-Bahru”? dalam bahasa Arab bermakna air yang luas dan banyak sekali, namun banyak dipakai pada air laut yang asin, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Mu'jam Al Wasith. Sedang dalam istilah para ulama adalah air yang banyak dan luas berisi ikan dan hewan-hewan air yang lain. Dalam syariat dan istilah para ulama, hanya dikenal dua jenis hewan ditinjau dari tempat hidupnya yaitu hewan darat (Al-Barr) dan hewan laut (Al-Bahru) sebagaimana firman Allah,

“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (manangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertaqwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (Al-Maidah : 96)

Binatang buruan laut dalam ayat ini mencakup semua binatang yang hidup di air. Apabila melihat kepada kebiasaan hidup di air, hewan buruan ini terbagi menjadi dua kategori :

Yang Hanya Dapat Hidup di Air
Apabila keluar dari air maka tidak bisa hidup lama, seperti ikan dengan semua jenisnya.

Yang Hidup di Air Namun Mampu Juga Hidup di Darat
Seperti buaya dan kepiting.
Dengan demikian jelaslah hewan laut meliputi seluruh binatang yang hidup di air, baik ia hanya dapat hidup di air saja atau mampu bertahan di daratan.
Bolehkah Dikonsumsi?

Para ulama fiqih berbeda pendapat tentang hal ini, namun yang rajih (kuat) adalah kebolehan memakan seluruh hewan laut berdasarkan keumuman firman Allah,

“Dan tiada sama (antara) dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum dan yang lain asin lagi pahit. Dan dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar dan kamu dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kamu memakainya, dan pada masing-masingnya kamu lihat kapal-kapal berlayar membelah laut supaya kamu dapat mencari karunia-Nya dan supaya kamu bersyukur.” (Faathir : 12)

“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang orang yang dalam perjalanan...” (Al-Maidah : 96)

Hal ini juga didukung dengan keumuman sabda beliau ketika ditanya tentang air laut,
“Airnya suci dan bangkainya halal.” (Riwayat Abu Daud).

Bahkan beliau pun minta daging ikan Paus itu kepada para sahabatnya dan ikut memakannya, sebagaimana dikisahkan Jabir,
“Kami berperang dipimpin oleh Abu Ubaidah, lalu kami sangat kelaparan. Kemudian laut melempar seekor ikan mati yang tidak pernah kami lihat sebelumnya dinamakan Al-Ambar (sejenis ikan Paus), lalu kami memakannya selama setengah bulan. Abu Ubaidah mengambil salah satu tulangnya lalu seorang berkendaraan lewat di bawahnya. Abu Ubaidah menyatakan, “Makanlah!”. Ketika kami sampai di Madinah kami kisahkan hal tersebut kepada Rasulullah, lalu beliau bersabda, “Makanlah rezeki yang Allah karuniakan. Berilah untuk kami makan apabila kalian membawanya! Lalu seorang membawakannya dan beliau pun memakannya.”(Riwayat Al-Bukhari)

Hukum Mengonsumsi Hewan Amfibi (Hidup di Dua Alam)
Demikian juga dalam permasalahan memakan hewan yang hidup di dua alam ini seperti Penyu, Kepiting, dan lain-lainnya. Para ulama bersilang pendapat menjadi empat pendapat :
1. Halal seluruhnya
Ini pendapat madzhab Malikiyah
2. Halal seluruhnya kecuali katak dalam semua kondisi dan burung laut apabila tidak disembelih
ini pendapat madzhab Syafi'iyah
3. Tidak boleh memakannya tanpa disembelih, kecuali kepiting karena ia termasuk hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir
Ini pendapat madzhab Hanabilah
4. Tidak boleh sama sekali
Ini pendapat madzhab Hanafiyah
Yang kuat, Insya Allah, adalah kehalalannya. Selama tidak ada dalil khusus untuk jenis tertentu darinya (dalil pengharamannya). Wallahu A'lam.
(Abu Abbas)

sumber: majalah-nikah.com

Tidak ada komentar: